Optimisme di Tahun 1427 Hijriah
Kita kembali memasuki bulan Muharram, bulan yang menandai datangnya kembali tahun baru hijriyah. Kali ini kita memasuki tahun 1427 Hijriyah. Tentunya ada sejuta harapan dan impian yang memenuhi dada kita alam menyambut datangnya tahun baru hijriyah.
Dengan pergantian waktu setahun, menunjukkan bahwa umur kita bertambah
satu tahun, tetapi kesempatan hidup kita di dunia telah ebrkurang pula
satu tahun, yang berarti semakin jauh kita dari kelahiran dan semakin
dekat kita kepada kematian.
Hasan al-Basri mengumpamakan manusia bagaikan kumpulan hari-hari, setiap
hari yang pergi, kita seperti kehilangan bagian dari diri kita. Apa yang
telah pergi tidak akan pernah kembali.
Tahun baru hijriyah mengingatkan kita kepada kejadian spektakuler yang
pernah terjadi dalam sejarah Islam, yaitu peristiwa "hijrah". Hijrah
secara harfiah artinya perpindahan dari satu negeri ke negeri lain, dari
satu kawasan ke kawasan lain, atau perubahan lokasi dari titik tertentu ke
titik yang lain.
Secara historis, hijrah adalah peristiwa keberangkatan nabi besar Muhammad
s.a.w. dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju kota Yathrib, yang
kemudian disebut al-Madinah al-Munawwarah.
Ditetapkannya peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah sebagai
awal tahun dari penanggalan atau kalender Islam, mengandung beberapa
hikmah yang sangat berharga bagi kaum muslimin, diantaranya:
Pertama: perisitwa hijrah Rasululah dan para sahabatnya dari Makkah ke
Madinah merupakan tonggak sejarah yang monumental dan memiliki majna yang
sangat berarti bagi setiap muslim, karena hijrah merupakan tonggak
kebangkitan Islam yang semula diliputi suasana dan situasi yang tidak
kondusif di Makkah menuju suasana yang prospektif di Madinah.
Kedua: Hijrah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa
opimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk
kepada yang baik, dan hijrah daru hal-hal yang baik ke yang lebih baik.
Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut
dengan berhijrah, meski harus meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara
dan harta benda.
Ketiga: Hijrah mengandung semangat persaudaraan, seperti yang dicontohkan
oleh Rasulullah s.a.w. pada saat beliau mempersaudarakan antara kaum
muhajirin dengan kaum anshar, bahkan beliau telah membina hubungan baik
dengan beberapa kelompok yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya.
Dalam konteks sekarang ini, pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus
identik dengan meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah s.a.w. dan kaum muhajirin, tetapi pemaknaan hijrah lebih kepada
nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti
seperti ini tidak akan pernah berhenti.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ada seorang yang mendatangi Rasulullha
dan berkata: wahai Rasulullah,s aya baru saja mengunjungi kaum yang
ebrpendapat bahwa hijrah telah telah berakhir, Rasulullah
bersabda:”Sesungguhnya hijrah itu tidak ada hentinya, sehingga terhentinya
taubat, dan taubat itu tidak ada hentinya sehingga matahari terbit dari
sebelah barat”.
Untuk itu, mari kita jadikan makna hijrah dengan semangat menyambut masa
yang akan datang dengan penuh harapan, kita yakin bahwa sehabis gelap akan
terbit terang, setelah kesusahan akan datang kemudahan dan kita yakin
bahwa pagi pasti akan datang walaupun malam terasa begitu lama dan
panjang. Karena roda kehidupan selalu berputar dan tidak mungkin berhenti.
Imam Syafi’i pernah ebrkata:”Memang sebeanrnya zaman itu sugguh
menakjubkan,s ekali waktu engkau akan mengalami keterpurukan, tetapi
pada saat yang lain engkau memperoleh kejayaan”.
Mari kita jadikan peralihan tahun sebagai momen untuk melihat kembali
catatan yang mewarnai perjalanan hidup masa lalu, dengan melakukan
renungan atas apa yang telah kita perbuat. Kita gunakan kesempatan ini
untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup di dunia dan akhirat
kelak, dengan bercermin kepada nilai-nilai dan semangat hijrah dalam
kehidupan beragama dan bermasyarakat, karena sesungguhnya Allah menjadi
pergantian siang dan malam untuk dijadukan pelajaran dan mengungkapkan
rasa syukur, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Furqan:62:
"Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang
yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur. "
Oleh Ustadz Muhajirin Abdul Qadir, Lc