Friday, October 28, 2005

Puasa dari Keserakahan

Ketika kita membuka buku- buku fiqh, dan mencari definisi
tentang puasa, hampir semuanya sepakat bahwa puasa tidak lain adalah "menahan diri dari makan,minum dan hubungan suami isteri dari fajar kedua hingga terbenamnya matahari karena Allah SWT". Artinya, puasa itu hanya mengharuskan terpenuhinya tiga rukun:menahan makan, minum dan hubungan suami isteri, niat karena Allah, serta dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu dari fajar kedua (menjelang terbitnya matahari dan bersamaan dengan azan subuh) hingga terbenamnya mataharibersamaan dengan azan magrib.

Berdasarkan definisi di atas, tentu puasa begitu sangat mudah dan ringan.Puasa yang seperti ini dapat dilakukan oleh siapa saja, dan hampir tidak memiliki makna istimewa. Jika saja kita membawa anak-anak kita ke taman di pagi hari,dan dibiarkan bermain hingga sore hari tanpa mengingatkan mereka untuk makan,niscaya mereka akan mampu melakukannya dengan senang hati. Menahan makan, minum, dan hubungan suami isteri dalam waktu kurang dari 15 jam, bukan sesuatuyang besar.

Kebesaran puasa terletak pada kata "menahan diri" yang dalam bahasa Arabbiasa disebut "al imsak". Al imsak inilah yang menjadi titik poin dari puasa yang dilakukan. Tidak makan, minum dan hubungan suami isteri adalah bentuk formalitas dari "penahanan" atau "pengekangan" tersebut. Kita diingatkan ketika Allah memerintahkan nabi Zakariyah dan ibu Isa A.S., Maryam, untuk melakukan "puasa". Ternyata puasa yang dimaksud pada kedua kisah tersebut adalah menahan diri dari melakukan pembicaraan, karena pada akhirnya akan melahirkan "perdebatan kusir".

Rasulullah juga pernah mengingatkan, jika ada yang mengajak anda untukberkelahi, katakan : "sungguh aku sedang melakukan puasa". Tentu puasa yang dimaksuddi sini bukan tidak makan atau tidak minum, melainkan menahan diri dari terlibat dalam perkelahian itu. Puasa juga disebut sebagai benteng dari dorongan "syahwat" manusiawi, sehingga mereka yang karena satu dan lain hal belum mampu menikah, hendaknya melakukan puasa. Puasa di sini tentunya bukan hanya tidak makan dan minum, tapi kemampuan melakukan kontrol terhadap gejolak hawa nafsu.

Manusia abad 21, yang biasa disebut dengan manusia modern, adalah manusiayang hidup dalam suasana dunia rakus yang ditandai oleh prilaku "materialistik dan hedonistik". Semua manusia, kaya ataupun miskin, memiliki kecenderungan sikap ini. Sikap serakah dan berlebih-lebihan. Bagi yang kaya, karena memang mereka memiliki peluang untuk itu. Bagi yang miskin, akan selalau merindukan untuk memiliki peluang itu dan balas dendam. Yang kaya semakin memperkaya diri, yang miskin akan mencarisetiap peluang, tanpa pandang bulu apakah halal atau haram.

Sikap serakah dan foya-foya inilah yang sebenarnya telah menjadi inti penyebab berbagai kesengsaraan manusia itu sendiri. Berbagai kerusakan atau korupsi (corruptions), berbagai fitnah dan cobaan (trials), serta berbagai goncangan hidup yang terjadi, diakibatkan oleh keserakahanmanusia ini. Keserakahan dan kecenderungan foya-foya inilah yang menjadikantangan-tangan manusia melakukan berbagai kejahatan. "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena akibat tangan-tangan manusia" kata Al Qur'an. Allah menyebutkan dalam Al Qur'an, bahwa sesungguhnya berbagai kerusakan yangterjadi menyadarkan manusia akan prilaku dan akibat dari tangan-tangan mereka. Persis ketika terjadi "Dan jika telah datang Kerusakan Besar (at Tommah al kubra)- pada hari di mana manusia sadar akan apa yang pernah dilakukan-sebab jahim dinampakkan di hadapan mata mereka" (an Naazi'aat).

At Tommah atau kehancuran total dimaksud tidak lain adalah di saat ditiupkan trompet pertama oleh malaikat Izrafil. Di saat itulah gunung-gunung beterbangan bagai kapas, manusia berlarian bagai anai-anai seraya bertanya "apa gerangan yang terjadi?". Di saat-saat situasi yang sangat mencekam itu, manusia disadarkan bahwa semua prilaku kehidupan ini akan menjadi beban pertanggung jawaban di hari yang sulit itu (yaomun 'asir). Di sinilah, ingatan itu menjadi jelas, yang selama ini disamarkan oleh jiwa yang rakus lagi tamak. Allah kemudian melanjutkan ayat tersebut: "Dan adapun yang Togaa (melampaui batas), dan melebih-lebihkan (bahkan mempertuhankan) dunia (alias rakus dan berfoya-foya), maka neraka Jahim adalah tempat kembalinya".

Disini nampak jelas hukum "sebab akibat" antara kerakusan (thugyaan) dan"kerakusan dunia (itsaar ad dun-ya). Manusia melakukan prilaku "thagut" (melampaui batas, kezaliman, keangkuhan, dll.) karena tertanamnya nilai-nilai "rakusisme duniawi" atau materialisme yang mengantar kepada perilaku hedonistik.Akibatnya, berbagai bencana-bencana kecil (sebesar apapun) semakin menjadi-jadi.Fenomena-fenomena seperti tsunami, hurricane, gempa bumi, landslide, dll., merupakan bentuk "Tommaat shugra" atau bencana-bencana kecil di hadapan mata kita,untuk menyadarkan kita akan prilaku rakusis tadi. Tapi mampukah manusia tersadarkan oleh "tommat-tommat shugra" yang kini menimpa hampir semua belahan dunia? Berapa manusia yang mati kelaparan? Berapaanak-anak yang mengalami malnutrisi dan meninggal setiap harinya? Menurut data UNDP tidak kurang dari 30.000 anak meninggal perhari karena kekurangan gizi atau kelaparang setiap harinya. Ini adalah "Tommah" yang nyata di depan mata.Kebakaran hutan, banjir, dan kini flu burung mengancam semua pelosok. Belumselesai dengan ancaman "HIV dan Aids" karena ulah-ulah manusia sendiri, kini mereka dihadapkan lagi kepada realita pembunuhan-pembunuhan dengan justifikasiindah, keadilan dan demi demokrasi.

Belum lagi "tommah" (bencana) dalam lingkupkeluarga. Tingkat perceraian semakin meroket di tengah penghasilan keluarga yang semakin mapan. Pada tataran individu, suicide semakin menjadi-jadi sebagaiakibat ketidak puasan yang selalu menghantui kehidupan manusia.

Pada akhirnya, solusi dalam menghadapi semua ini adalah :
"Dan adapun yang takut kepada Maqaam Rabb-nya, dan menahan nafsu dari berbagai kecenderungan, maka sungguh surgalah yang menjadi tempat kembalinya".

Syurga adalah idaman setiap insan, bahkan yang tidak mengakui Tuhan sekalipun. Syurga adalah ungkapan "kenikmatan tertinggi" yang diimpikan oleh setiap individu. Syurga hakiki, kenikmatan hakiki memang ada di ujung sana, di akhir tujuan kehidupan manusia. Harapan dan cita-cita hidup orang beriman tidak lain mencapai kenikmatan hakiki itu setelah berjuang untuk mencari kenikmatan sementaranya di dunia fana ini.

Tapi sebelum kenikmatan hakiki diraih pada saat menjelajahi dunia yang lain,manusia Mu'min tidak melakukan "pemotongan proses" dalam rangka meraih kenikmatan tersebut. Artinya, proses-proses yang dilalui dalam upaya menuju kepadakenikmatan abadi, adalah sangat terkait dengan kehidupan kekiniannya. Sehinggakenikmatan abadi itu akan selalu diwujudkan dalam kehidupan kini yang sementara.

Oleh: M. Syamsi Ali