Memahami Agama Islam
MEMAHAMI ISLAM
Oleh : Salahudin Pakaya, S.Ag
Islam adalah terminologi yang disandarkan pada sebuah nama agama, dimana agama yang dimaksud saat ini dikenal diseluruh dunia, yakni Agama Islam. Dalam sejarahnya islam adalah sebuah doktrin ajaran yang dibawa oleh sosok nabi yang kemudian pula nabi tersebut dikenal oleh masyarakat dunia, yakni Nabi Muhammad SAW. Karena itu kalau ada yang mendiskusikan apa itu Islam tentu tidak terlepas dari siapa itu Muhammad SAW.
Ada suatu tanda tanya, bahwa mengapa agama Islam tidak disebut Agama Muhammad, supaya tidak banyak mengundang beragam pemahaman dan pengamalan terhadap agama tersebut, artinya untuk mengamalkan ajarannya cukup membaca sejarah kehidupan Nabi Muhammad. Mungkin dalam kenyataan bahwa justru di sini keunggulan islam itu sendiri, dimana islam itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebab apabalia diambil nama Agama Muhammad, maka riwayatnya berakhir sejak nabi Muhammad SAW wafat.
Variabel lain yang tidak bisa terabaikan dalam menelusuri apa itu sesungguhnya islam, selain sosok Muhammad, yaitu Wahyu. Wahyu inilah merupakan doktrin ajaran yang pertama kali diterima Muhammad dalam perenungannya ditempat yang jauh dari keramaian yakni sebuah gua yang dalam sejarah disebut Gua Hira. Selanjutnya wahyu tersebut senantiasa secara gradual (berangsur-angsur) dihujamkan dalam jiwa Muhammad untuk kemudian disampaikan kepada seluruh umat manusia. Wahyu-wahyu ini oleh pengikut Muhammad pada gilirannya dikumpulkan, lalu dikodifikasi menjadi sebuah kitab (buku), yang dikenal dengan sebutan Kitab Suci al-Quran.
Jadi Agama islam yang dikenal sekarang ini, inti ajarannya oleh Muhammad SAW direduksi dari wahyu-wahyu al-quran tersebut. Dan disini sebenarnya sisi keberhasilan seorang Muhammad dalam menata kehidupan masyarakat, dimana pada puncak keberhasilannya dan menjelang menghakhiri hidupnya disempurnakanlah wahyu al-Quran yang ternyatakan dalam kalimat ; al-Yauma Akmaltiu Lakum Diinakum, wa Atmamtu alaikum Nikmaty wa Rodhiitu Lakum al-Islaama Diina. (Pada hari ini aku telah sempurnakan agama bagimu dan telah kucukupkan nikmatKu dan Aku meredhai Islam agamamu.)
Dari sinilah barangkali pengikut ajaran Muhammad dikemudian hari mengabadikan ajaran-ajaran wahyu al-quran dengan terminologi Islam, dengan mereduksi kata islam dalam pernyataan wahyu diatas. Karena itu eksisnya islam tetap seiring dengan eksisnya wahyu al-Quran. Dan sekarang islam yang di kenal itu digunakan untuk menyebut ajaran yang pernah diajarkan oleh Muhammad SAW.
Memahami islam, tentunya tidak lepas dari variabel pendekatan pemahaman, dalam hal ini ada dua variabel yang harus digunakan, pertama Variabel Sosok Nabi Muhammad SAW, dan yang kedua adalah variabel wahyu al-Quran. Metode ini yang kemudian oleh Fazlur Rachman (Guru Besar Pemikiran Islam di Universitas Chicago) dalam melaporkan secara deskriptif dan interpretatif mengenai Islam dengan mensurvei historis ringkas mengenai Muhammad dan al-Quran, lewat sebuah karya tulisnya, Islam : 1987.
Kenyataan sekarang menunjukkan bahwa sebenarnya sudah terjadi distorsi pemahaman terhadap islam, yakni dalam memahaminya terkadang lebih sering orang menggunakan pendekatan sejarah Muhammad dan para pengikutnya, sehingga menimbulkan kesan bahwa islam itu “ekstrim” dan “ortodoks”, dalam makna kata ekstrim dan ortodoks itu adalah sikap sekelompok yang mengaku berislam lantas dengan serta merta menganggap orang lain diluar kelompoknya tidak berislam dengan kata lain kafir. Pada gilirannya sikap seperti ini yang kemudian melahirkan konflik antar sesama muslim yang sampai mengakibatkan pertumpahan darah.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh kelompok yang memahami islam dengan pendekatan sejarah Muhammad dan para pengikutnya tidak akan berimplikasi pada sikap ekstrim dan ortodoks, apabila dibarengi dengan kajian yang lebih konprehensif tentang terminologi-terminologi yang dipesankan oleh teks-teks wahyu al-Quran. Artinya pendekatan dalam menangkap nilai-nilai wahyu al-Quran sangat signifikan untuk meluruskan pemahaman yang terlalu mengendepankan simbol-simbol sejarah.
Menangkap nilai-nilai wahyu oleh sebagian pemikir-pemikir islam terdahulu telah meletakkan dasar ilmu-ilmu al-Quran yang kemudian merumuskankan suatu kaidah : al Ibratu bi Umuumi al Lafdzi laa bi Khusuusi al Sababi (Ungakapan wahyu itu didasarkan pada makna umumnya lafadz, bukan dibatasi oleh kekhususan sebab yang melatarbelakangi turunya wahyu tersebut). Dengan Kaidah ini dapat dimengerti bahwa terminologi-terminologi yang diungkapkan oleh wahyu al-Quran itu nilai dan maknanya tidak terbatas pada lokal (tempat), temporal (waktu) dan personal - komunal (Pribadi atau kelompok) suatu peristiwa yang melatarbelaknginya. Ini yang oleh penuliskatakan sebagai penganut islam formalistik dan simbolistik.
Tentunya inilah yang dialami oleh makna kata Islam yang diungapkan oleh wahyu, dimana dalam kenyataan saat ini, arti kata islam sudah terjadi pembatasan-pembatasan berdasarkan lokal, temporal dan personal – komunal, sehingga tidak heran ada seseorang atau sekolompok yang mengklaim berislam kemudian menganggap orang atau kelompok lain yang tidak sepaham dengan caranya berislam dengan klaim tergolong orang-orang kafir. Padahal makna kata kafirpun hanya didasarkannya pada cara memahami ungkapan wahyu dengan pendekatan formalistik dan simbolistik.
Mari kita mencoba menelusuri akar makna kata islam dalam wahyu al-Quran, beberapa makna yang ditelaah oleh para ilmuan yang concern pada penafsiran wahyu al-Quran. Salah satunya yang disebutkan adalah bahwa Islam itu makna kata dasarnya adalah salama-yaslimu-Islam artinya adalah selamat-penyelamat-keselamatan. Nurcholis Majid (Rektor Universitas Paramadina Mulya), pernah mengemukakan bahwa sesungguhnya agama islam yang dimaksud oleh wahyu al-Quran itu adalah suatu ajaran yang senantiasa mengajarkan dan menganjurkan ummatnya pada keselamatan. Karena itu menurut Nurcholis, ajaran apapun di atas dunia ini yang senantiasa mengajarkan dan menganjurkan ummatnya pada keselamatan itulah Islam.
Dalam keterangan lain, Fazlur Rahman dalam karya pemikirannya menyatakan bahwa dasar ajaran al-quran ialah Moral, yang memancarkan titik beratnya pada Tauhid dan Keadilan Sosial. Dan hukum moral ini tidak dapat diubah sebab merupakan perintah Tuhan, manusia sendiri tidak dapat menciptakan hukum moral, tetapi justru tunduk pada hukum moral tersebut yang hal itu disebut Islam, dan perwujudannya dalam kehidupan disebut ibadah yakni pengabdian kepada Tuhan.
Dari sudut pandang kedua tokoh pemikiran islam di atas, semakin jelaslah bahwa terminologi islam yang dinyatakan dalam wahyu al-quran tidak terbatas pada klaim perorangan dan kelompok dan pada waktu dan tempat tertentu. Baik Nurcholis ataupun Fazlur Rachman keduanya berpemahaman bahwa kata islam mempunyai nilai yang sangat inklusif (umum), luas dan mendalam. Karena itu sebaiknya sebagai orang yang hari ini mengaku dirinya beragama islam, perlu mengoreksi pemahaman keislamannya. Apakah pemahamannya masih dalam tataran formalistik dan simbolistik, atau mulai menemukan nilai-nilainya. Supaya tidak terjebak pada hal-hal yang fatamorgana (dari jauh kelihatan ada air, setelah didekati airnya tidak ada).
Untuk menghindari pandangan fatamorgana, penulis hanya memberikan saran kepada kita semua untuk segera melakukan upaya dekonstruksi pemahaman tentang islam. Dekonstruksi yang dimaksud bukan membongkar dan meruntuhkan bangunan pemahaman kita terhadap islam, lalu dibiarkan sampai tidak menemukan bagaimana caranya direkonstruksi (dibangun kembali) lagi. Upaya dekonstruksi adalah mengkaji kembali terminologi islam yang diungkapkan oleh wahyu al-quran dengan pendekatan yang biasa dilakukan oleh para pencinta ilmu yakni dengan jalan Ontologi (apa), Epistimologi (bagaimana), Aksiologi (fungsi).
0 Comments:
Post a Comment
<< Home